Surat-surat musim dingin Bag. 1

Gaza - SPNA - Sudah lebih satu dekade, warga Gaza hidup dalam minimnya suplai listrik, sejak Israel menghancurkan pembangkit listrik di wilayah tersebut pada tahun 2006.

BY Rara Atto Edited Mon,13 Mar 2017,12:08 PM

SPNA - Gaza City

Surat-surat musim dingin (Bag. 1)

Gaza - SPNA - Sudah lebih satu dekade, warga Gaza hidup dalam minimnya suplai listrik, sejak Israel menghancurkan pembangkit listrik di wilayah tersebut pada tahun 2006. Israel juga mencegah perbaikan dan penataan infrastruktur, serta memaksa otoritas Gaza untuk membeli bahan bakar hanya dari Israel dengan harga yang sangat sulit dijangkau oleh penduduk Gaza. Akibatnya, listrik harus disalurkan secara bergiliran, dan penduduk hanya memperoleh listrik selama empat atau delapan jam perhari.

Saat ini Gaza berada di penghujung musim dingin, namun jutaan cerita selama masa itu, masih terus berjalan seiring kehidupan manusianya. Sangat sulit dibayangkan bahwa di Gaza – yang hanya berjarak beberapa mil dari Tel Aviv – para keluarga harus menjalani hidup mereka tanpa pasokan listrik seperti pada umumnya.

Surat-surat dari beberapa akun dikumpulkan oleh para peneliti B’Tselem di Jalur Gaza, yaitu: Muhammad Sabah, Khaled al-‘Azayzeh dan Muhammad Sa’id. Dalam suratnya, para wanita Gaza menggambarkan situasi sulit yang mereka alami.

 

Zikra Naji ‘Issa ‘Ajur, 38 tahun, tinggal di Jalur Gaza. Ibu dari empat orang anak, koordinator proyek dalam sebuah komunitas lokal:

 

Kami memperoleh listrik secara bergiliran selama empat sampai delapan jam per hari. Ini berarti bahwa selama 15 hari dalam sebulan, kami memperoleh listrik hanya di pagi hari, dan selama itu saya hanya bisa bekerja di pagi hari. Saya bekerja full time, maka saya pulang untuk menemui anak saya yang berusia lima tahun pada pukul 15:00. Sepanjang pekan-pekan dimana tidak ada pasokan listrik di pagi hari, listrik kembali dinyalakan pada pukul 22:00. Dengan kata lain, saya pulang ke rumah tanpa listrik dan begitu banyak pekerjaan rumah yang harus saya kerjakan, seperti mencuci, menyeterika dan mencucui piring dengan air panas. Karena air panas tidak tersedia, maka kami tak dapat mandi. Saya harus menyelesaikan semua ini hingga tengah malam, yang sesungguhnya sudah memasuki pagi hari. Bahkan saya harus menunda waktu mandi anak saya, Naji.

Kami benar-benar kedinginan, apalagi Naji, tapi kami tidak dapat menghangatkan rumah, karena kurangnya pasokan gas. Dan juga, saya harus memasak makanan setiap hari, karena makan tidak dapat disimpan di kulkas.

Saya merasa bahwa hidup kami tidak seperti manusia. Kami tidak dapat melakukan hal-hal mendasar seperti mandi, menghangatkan badan dan menghangatkan makanan. Saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk menunggu listrik menyala.

 

Fatimah ‘Atiyyah a-Da’alseh, 28 tahun, tinggal di Khan Yunis, ibu dari tiga orang anak:

Kami menggunakan alat pemanas listrik untuk rumah kami. Sekarang, alat itu hanya akan menjadi pajangan. Kami hanya dapat menggunakan alat itu dalam waktu singkat dalam sehari. Udara dingin sangat berdampak pada kesehatan anak-anak saya. Mereka terkadang kedinginan dan sakit.

Beberapa hari lalu, suami saya membawa anak kami, Sead, ke rumah sakit, karena ia sangat butuh menghirup uap. Kami memiliki alat seperti itu di rumah. Kami membelinya karena Sead menderita dyspnea dan terkadang harus menghirup uap Ventolin untuk bernapas, tapi kami tidak dapat menggunakannya jika listrik padam. Hidup kami terus mengalami krisis dan soslusinya masih belum nampak.

Begitu sulit memperoleh hiburan untuk anak-anak kami, karena tidak banyak temapt rekreasi di Gaza.

 

SPNA Gaza City

Penerjemah: Ratna

 

leave a reply
Posting terakhir