Pemerintah Israel serukan agar ritual Yahudi dihalalkan di Masjid Al-Aqsa

Dalam wawancara dengan radio 90 FM Israel, Selasa (13/082019) Erdan mengatakan, “Saya fikir status de facto Al-quds sejak 1967 tidak adil terhadap bangsa Yahudi. Hal ini harus segera diubah agar mereka dapat melakukan ritual di dalam Bukit Suci (Al-Aqsa) tanpa hambatan.”

BY 4adminEdited Wed,14 Aug 2019,01:38 PM

RT Arabic - Tel Aviv

Tel Aviv, SPNA – Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, Gilad Erdan meminta agar standar de facto terhadap Al-Quds diubah agar penganut  Yahudi dapat melaksanakan ritual di dalam Masjid Al-Aqsa degan bebas.

Dalam wawancara dengan radio 90 FM Israel, Selasa (13/082019) Erdan mengatakan, “Saya fikir status de facto Al-quds sejak 1967 tidak adil terhadap bangsa Yahudi. Hal ini harus segera diubah agar mereka dapat melakukan ritual di dalam Bukit Suci (Al-Aqsa) tanpa hambatan."

"Pemerintah harus mengambil langkah-langkah politik yang memungkinkan agar bangsa Yahudi dapat melaksanakan ritual disana," tambahnya.

Pernyataan Erdan tersebut dipuji oleh Organisasi Haikal Sulaiman namun kelompok sayap kiri Israel yang lebih toleran terhadap Palestina mengkritik keras pernyataan tersebut.

Pernyataan Erdan disampaikan dua hari setelah ribuan penduduk Yahudi menyerbu Masjid Al-Aqsa di hari lebaran Idul Adha.

Berdasarkan status de facto atas Al-Quds, Lembaga Wakaf Islam adalah satu-satunya pihak yang berwenang dan bertanggung jawab atas  administrasi di Masjid Al-Aqsa. Mereka yang berhak menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke Al-Aqsa.

Menyusul pernyataan kontroversi tersebut, Pemerintah Yordania juga turut angkat suara. Juru Bicara Resmi Kementerian Luar Negeri Yordania, Sofyan Al-Qudah menegaskan bahwa Amman menentang keras pernyataan Gilad Erdan yang mencoba mengganggu status Al-Aqsa. “Penting bagi Israel menghormati Masjid Al-Aqsa,‘’ tegasnya.

Sebelumnya dua Rabi senior Israel mengharamkan pengikutnya masuk ke Masjid Al-Aqsa. Rabi Zalman Nehemia Goldberg dan Rabi Osher Weiss, meyampaikan hal ini di malam peringatan hancurnya Haikal Suilaman,  di mana beberapa pemeluk agama Yahudi biasanya memaksa masuk ke Masjid Al-Aqsa dengan keyakinan bahwa mereka sedang mendaki ke Bukit Suci, seperti dilansir Rt Arabic, Jumat (08/08/2019).

Berdasarkan aturan Halakha 1967, penganut Yahudi dilarang masuk ke  Al-Aqsa karena dinilai melanggar Hukum Kesucian.

Di lain pihak, Organisasi Haikal Sulaiman menyerukan pemeluk agama Yahudi agar menyerbu  Masjid Al-Aqsa  di hari peringatan hancurnya Haikal Sulaiman, bertepatan dengan hari lebaran bagi umat Islam. Akibatnya lebaran Idul Adha tahun ini menjadi hari raya mencekam di Masjid Al-Aqsa setelah ribuan Yahudi ekstremis mendobrak masuk dan menyerang umat Islam yang sedang menunaikan sholat Eid.

Portal Youm7, Senin (12/08/2019) menyebutkan bahwa jumlah Yahudi ekstremis yang menyerang Masjid Al-Aqsa mencapai 1340 orang. Mereka dikawal ketat oleh pasukan pertahanan Israel (IDF) yang bersenjata lengkap.

Kota suci Yerusalem mulai diduduki Israel pada saat perang tahun 1967. Pada 1980 Israel mengambil alih seluruh wilayah Al-Quds timur dan barat, kemudian mengklaimnya sebagai ibu kota negara Yahudi  abadi dan tak terbagi, dimana langkah ini ditentang dunia internasional

Lalu, pada 6 Desember 2017 Presiden AS, Donald Trump mendeklarasikan bahwa Al-Quds adalah ibukota Israel. Gedung Putih kemudian merelokasi Kedubesnya ke kota suci tersebut pertengahan Mei 2018.

Langkah AS yang terang-terangan mendukung Israel ini, memberikan lampu hijau bagi Tel Aviv untuk merebut kota suci Al-Quds dan Masjid Al-Aqsa serta menggusur warga Palestina.

Sejak saat itu hubungan Palestina dan AS tegang. Ramallah memilih angkat kaki dari  dari Deal of Century, sebuah perjanjian damai Israel – Palestina yang dirumuskan AS.  Palestina menilai AS tidak lagi cocok menjadi mediator negosiasi damai karena keberpihakannya terhadap Israel.

(T.RS/S:RtArabic)

leave a reply
Posting terakhir