Perang 100 Tahun di Palestina, Kisah Kolonialisasi Pemukim Israel dan Perlawanan

“Ini juga mencakup pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka, penghapusan sejarah mereka, dan penulisan ulang sejarah Palestina yang dipalsukan dan dibuat-buat, terputus (berbeda) dari rakyat (Palestina) yang telah mewarisinya selama empat milenium. Setiap hari kita melihat upaya besar-besaran Zionis, yang didukung oleh partai-partai berpengaruh di Amerika, yang bertujuan untuk menyangkal keberadaan Palestina, tidak hanya secara politik, tetapi juga identitas dan budaya,” kata Profesor Al-Hroub.

BY 4adminEdited Sat,14 Oct 2023,09:42 AM

Yerusalem, SPNA - Theodor Herzl (1860-1904), pemimpin gerakan Zionis yang namanya sedang naik daun pada saat itu, melakukan kunjungan ke Palestina pada tahun 1898, bersamaan dengan kunjungan Kaisar Wilhelm II dari Jerman (1859-1941).

Herzl mulai merumuskan pemikirannya tentang beberapa isu penyelesaian Palestina. Ia menulis dalam buku hariannya pada tahun 1895, bahwa pihaknya harus berhati-hati merampas properti pribadi di wilayah Palestina.

“Kita harus dengan hati-hati menyita properti pribadi di wilayah yang dialokasikan kepada kita. Kita harus mendorong orang-orang miskin (Palestina) di luar perbatasan untuk mendapatkan pekerjaan di negara-negara pengungsi dan tidak memberi mereka kesempatan kerja di negara kita. Pemilik tanah akan berdiri di pihak kita. Kebijakan perampasan tanah dan pemindahan masyarakat miskin harus dilaksanakan dengan waspada dan hati-hati,” kata Theodor Herzl.

Baru-baru ini sebuah buku tentang Palestina berjudul “Perang Seratus Tahun terhadap Palestina: Kisah Kolonialisme Pemukim dan Perlawanan,” diterbitkan dalam versi bahasa Arab oleh Dar Al-Arabiah wal Ulum Arab. Buku ini ditulis sejarawan Palestina-Amerika, Rashid Khalidi, profesor studi Arab modern di Universitas Columbia, yang berfokus pada 6 peristiwa yang dianggapnya mewakili pergeseran konflik di Palestina.

Khalidi bekerja sebagai Direktur Sekolah Hubungan Internasional dan Lokal Institut Timur Tengah di Universitas Columbia. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Kajian Arab di Universitas Columbia. Ia juga merupakan penasihat delegasi Palestina dalam negosiasi perdamaian Arab dengan Israel pada periode 1991 hingga 1993. Salah satu bukunya yang paling terkenal adalah “Palestinian Identity: The Contraction of Modern National” atau “Identitas Palestina: Konstruksi Bangsa Modern”.

Keenam peristiwa yang dianggap Khalidi mewakili pergeseran konflik di Palestina tersebut dimulai dari Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menentukan nasib Palestina, kemudian Perang Nakba tahun 1948, disusul Resolusi Dewan Keamanan Nomor 242 tahun 1967, lalu invasi Israel ke Lebanon tahun 1982, selanjutnya terjadi Perjanjian Damai Oslo Pada tahun 1993, kunjungan Ariel Sharon ke Yerusalem pada tahun 2000, hingga blokade Israel atas Jalur Gaza dan peperangan berulang kali melawan masyarakat Jalur Gaza pada dekade pertama abad ke-21.

Struktur Sosial di Palestina

Khalidi mengatakan bahwa keenam tahapan ini menjelaskan sifat kolonial dari perang 100 tahun melawan Palestina dan peran dari kekuatan eksternal yang sangat diperlukan dalam melancarkan perang ini. Khalidi membenarkan bahwa model pemukiman kolonial ini dikonsolidasikan pada perang tahun 1948, orang Palestina menyebutnya “Nakba”, atau orang Israel menyebutnya “Perang Kemerdekaan”, dengan merampas dan menguasai sekitar 80 persen tanah Palestina.

“Saya menceritakan kisah ini sebagiannya melalui pengalaman orang-orang Palestina yang mengalami perang ini, banyak di antaranya adalah anggota keluarga saya,” kata Khalidi.

Buku ini didasarkan pada penelitian akademis, tetapi juga mengandung dimensi pribadi yang biasanya dikecualikan dalam sejarah akademis. Khalidi mengandalkan bahan-bahan arsip yang belum dieksploitasi, laporan dari generasi ke generasi anggota keluarga Khalidi, walikota, hakim, cendekiawan, diplomat, dan para jurnalis. Ia juga mengumpulkan sejumlah besar manuskrip dari perpustakaan milik kakek buyutnya, Haj Raghib Al-Khalidi, yang memiliki lebih dari 1.200 manuskrip dan sekitar 2.000 buku, yang sebagian besar berbahasa Arab, sebagian di antaranya berbahasa Persia dan Turki Usmani.

Kehancuran Palestina

Rashid Khalidi mengatakan bahwa buku ini bukanlah sebuah “bayangan tangis” dari 100 tahun terakhir sejarah Palestina dan bukan merupakan kutipan kritik yang ditulis oleh rabbi dan sejarawan Salo Wittmayer Baron (1895-1989), yang menggambarkan semangat sejarah Yahudi pada abad ke-19.

“Rakyat Palestina dituduh oleh simpatisan pihak yang menganiaya mereka bahwa Palestina tenggelam dalam perasaan menjadi korban. Faktanya, rakyat Palestina menghadapi keadaan yang sulit, bahkan terkadang mustahil, seperti semua masyarakat adat yang menghadapi perang kolonial,” kata Khalidi.

Khalidi menjelaskan bahwa Palestina mengalami kekalahan berulang kali, sering kali terpecah-pecah, dan tidak memiliki kepemimpinan yang baik. Namun, ia menjelaskan bahwa hal ini tidak berarti bahwa Palestina kadang-kadang tidak berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan ini atau bahwa di lain waktu mereka tidak mampu mengambil keputusan yang lebih baik.

Sementara itu, Khaled Al-Hroub, Profesor Studi Timur Tengah di Universitas Northwestern, mengatakan bahwa para pemimpin Palestina telah melakukan kesalahan serius.

“Menurut saya, yang paling penting adalah upaya untuk membedakan antara kehadiran Inggris dan proyek Zionisme. Mereka (para pemimpin awal Palestina) menganggap Inggris seolah-olah adalah pihak yang jujur ​​dan tidak terlibat dalam penghancuran Palestina sejak awal,” kata Khaled Al-Hroub.

Khalidi menyebut bahwa kita tidak bisa mengabaikan kekuatan internasional dan imperialis yang bersekutu melawan Palestina. Palestina menurutnya seringkali diabaikan dan kurang dihargai.

“Meskipun demikian, Palestina mampu menunjukkan fleksibilitas dan rasa sabar yang layak untuk dipuji,” kata Khalidi.

Al-Hroub menyatakan bahwa konflik di Palestina, sejak awal adalah konflik kolonial multi-dimensi, mulai dari imperialis, pemukim, dan agama. Ketiga hal ini masih ada dan hadir dengan kuat di pusat konflik ini hingga saat ini.

Kebun Jeruk

Khalidi percaya bahwa pada awal tahun 1920-an, sebelum kolonialisme Zionis berdampak signifikan di Palestina, ide-ide baru menyebar dan cakupan pendidikan modern, serta pendidikan membaca dan menulis meluas. Lanskap sebagian besar wilayah Palestina juga berubah. Kebun jeruk tersebar di mana-mana.

Khalidi menegaskan bahwa sebagian besar lahan pertanian berada di bawah kendali pemilik yang tidak tinggal di tanah Palestina, banyak di antaranya tinggal di Beirut atau Damaskus dengan mengorbankan petani dan pemilik kecil.

Rashid Khalidi menyimpulkan bahwa sebelum Perang Dunia I (1914-1918), banyak rakyat Palestina yang berwawasan luas menyadari bahaya gerakan Zionis dan menganggapnya sebagai ancaman. Namun, Deklarasi Balfour (1917), yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour (1848) -1930), memperkenalkan unsur menakutkan selama perebutan Yerusalem oleh pasukan Inggris dan penerapan kekuasaan kolonial Inggris.

Profesor Khaled Al-Hroub mengatakan bahwa tekanan proyek kolonialis gabungan Inggris-Zionis jauh lebih besar daripada kemampuan orang-orang Palestina untuk berkonfrontasi, bahkan jika mereka memiliki kepemimpinan lapangan terbaik pada saat itu.

“Deklarasi Balfour pada tahun 1917 berubah menjadi formula internasional yang diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1922. Sejalan dengan itu, misi internasional kolonialisme Inggris di Palestina untuk mendirikan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Semua negara-negara besar mendukung mandat ini dan fungsinya,” kata Khaled Al-Hroub.

Negara Paralel Zionis

Sejarawan Rashid Khalidi menunjukkan bahwa proyek Zionis didukung “dinding besi” yang sangat diperlukan militer Inggris. Ia mengatakan, identitas politik yang berkembang di Palestina sebelum perang dapat dipastikan sejalan dengan perubahan global dan perkembangan Turki Usmani.

Setelah itu, migrasi Yahudi terus berlanjut dari berbagai belahan dunia menuju Palestina. Khalidi memantau bahaya imigrasi Yahudi ke Palestina, dengan mengatakan bahwa pemindahan dan penggusuran penduduk lokal Palestina dimulai dengan migrasi besar-besaran pemukim Eropa yang didukung oleh otoritas Mandat Inggris yang baru, yang membantu mereka membangun struktur negara paralel Zionis.

Negara paralel adalah istilah yang diciptakan oleh sejarawan Amerika, Robert Paxton, untuk menggambarkan kumpulan organisasi atau lembaga yang organisasi, manajemen, dan strukturnya mirip negara, tetapi secara resmi bukan bagian dari negara atau pemerintahan yang sah. Mereka bertujuan untuk mempromosikan ideologi politik dan sosial negara yang berlaku.

Rashid Khalidi menegaskan bahwa hal ini menyebabkan peningkatan besar proporsi populasi Yahudi di Palestina dari awalnya hanya 18 persen pada tahun 1932 menjadi lebih dari 31 persen pada tahun 1939. Hal ini menghasilkan jumlah populasi kritis, karena disertai dengan munculnya kekuatan militer yang didukung oleh Eropa dan Amerika Serikat, untuk melakukan pembersihan etnis orang-orang Palestina pada tahun 1948.

Lebih dari separuh penduduk Arab diusir dari negara mereka pada waktu itu. Berbagai desa dan kota penduduk Arab-Palestina dihancurkan dan penduduknya diusir, pertama oleh geng-geng Zionis, kemudian oleh militer tentara Israel, yang menyempurnakan kemenangan militer dan politik Zionisme dengan lahirnya negara Zionis Israel.

“Besarnya imigrasi Yahudi dengan difasilitasi Inggris, tentu saja mempengaruhi transformasi demografi, ekonomi, dan militer besar-besaran di Palestina yang membuka jalan bagi perang dan Nakba Palestina. Jumlah penduduk asli semakin menurun karena adanya penindasan yang kejam terhadap aksi perlawanan masyarakat Arab di Palestina melawan pemerintahan Inggris pada tahun 1936-1939, di mana 10 persen pemuda Arab dewasa terbunuh, terluka, dipenjara, atau diasingkan (ke luar Palestina),” kata Profesor Khaled Al-Hroub.

Jubah Agama

Rashid Khalidi menempatkan konflik Palestina-Israel dalam kerangka perang kolonial yang dilancarkan terhadap penduduk asli Palestina oleh sejumlah pihak untuk memaksa mereka menyerahkan negaranya kepada Israel dengan cara paksa dan bertentangan dengan keinginan penduduk asli Palestina.

“Ini adalah bagaimana sebuah gerakan kolonialis bangsa pada akhir abad ke-19 menghiasi dirinya dengan jubah alkitabiah yang sangat menarik bagi para pembaca Alkitab Protestan di Inggris Raya dan Amerika Serikat. Hal ini membutakan mereka sehingga tidak bisa melihat modernitas Zionis dan sifat kolonialnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin orang-orang Yahudi menjajah tanah asal agama mereka?” kata Rashid Khalidi.

Profesor Al-Hroub menjelaskan bahwa pusat gerakan Protestan Inggris dan Amerika, muncul gerakan Zionis Kristen, yang aktif di Timur dan Palestina sejak paruh pertama abad ke-19. Mereka menyerukan kembalinya orang-orang Yahudi ke Palestina. Gerakan ini mengkristal dalam bentuk lembaga gereja, misionaris, musafir, dan diplomat pada awal paruh kedua abad ke-19, yaitu kurang lebih setengah abad sebelum munculnya gerakan Zionisme di tangan Theodor Herzl.

“Oleh karena itu, Zionisme lahir dalam lingkungan agama dan politik yang sangat mendukung, seiring seruan kembalinya umat Yahudi ke Palestina yang mendapat pendukung di ibu kota utama Eropa; London, Paris, Berlin, dan Moskow. Ibukota-ibukota ini mempunyai agenda berbeda dalam mendukung seruan ini dan dukungan tersebut belum tentu karena keyakinan agama,” kata Profesor Al-Hroub.

Sejarah Palsu

Rashid Khalidi berpendapat bahwa pidato menghina yang disampaikan oleh Theodor Herzl dan para pemimpin Zionis lainnya tidak berbeda dengan pidato rekan-rekan mereka di Eropa.

“Herzl menulis bahwa negara Yahudi akan menjadi bagian dari tembok pertahanan Eropa di Asia, sebuah pos terdepan peradaban melawan barbarisme,” kata Rashid Khalidi.

Dalam konteks ini, Rashid Khalidi membandingkan tragedi di Palestina dengan tempat lain di dunia, dengan mengatakan bahwa penjajahan di Palestina sama seperti penjajahan di Amerika Utara, Afrika Selatan, Australia, Aljazair, dan wilayah negara-negara Afrika Timur lainnya.

Sementara itu, Al-Hroub menegaskan bahwa “Perang 100 Tahun” tidak terbatas pada dimensi militer saja, akan tetapi meluas ke berbagai dimensi pelanggaran dan kekerasan.

“Ini juga mencakup pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka, penghapusan sejarah mereka, dan penulisan ulang sejarah Palestina yang dipalsukan dan dibuat-buat, terputus (berbeda) dari rakyat (Palestina) yang telah mewarisinya selama empat milenium.  Setiap hari kita melihat upaya besar-besaran Zionis, yang didukung oleh partai-partai berpengaruh di Amerika, yang bertujuan untuk menyangkal keberadaan Palestina, tidak hanya secara politik, tetapi juga identitas dan budaya,” kata Profesor Al-Hroub.

(T.FJ/S: Aljazeera)

leave a reply
Posting terakhir