“Cetak Biru Genosida Gaza”, Puncak Dari Proyek Kolonialisme Zionis Mengungkap Bangkai “Muka Dua” Barat

Genosida di Gaza adalah tahap akhir dari proses yang dimulai Israel beberapa dekade lalu. Siapapun yang tidak melihat hal ini akan membutakan diri mereka terhadap karakter dan tujuan akhir negara apartheid.

BY 4adminEdited Sat,20 Apr 2024,05:49 AM
Foto: Carlos Latuff, White washing war crimes/Sumber: Meer.com

Oleh Chris Hedges

Chris Hedges adalah jurnalis, penulis, komentator, dan pendeta Presbiterian Amerika. Dia bekerja sebagai wartawan lepas di Amerika Tengah sebelum bergabung dengan The New York Times pada tahun 1990. Selama masa kerjanya di sana, ia menjabat sebagai Kepala Biro Timur Tengah & Kepala Biro Balkan. Pada tahun 2001, Hedges menerima Penghargaan Pulitzer atas liputannya tentang terorisme global.

Jalur Gaza, SPNA - Tidak ada kejutan di Gaza. Setiap tindakan genosida mengerikan Israel telah diberitakan sebelumnya melalui telegram. Sudah puluhan tahun, perampasan tanah milik warga Palestina menjadi substansi proyek kolonial Israel.

Perampasan ini memiliki momen bersejarah yang dramatis, pada tahun 1948 dan 1967, ketika sebagian besar wilayah bersejarah Palestina direbut dan ratusan ribu warga Palestina menghadapi bencana pembersihan etnis.

Perampasan wilayah juga terjadi secara bertahap dan perlahan didukung dengan pembersihan etnis yang terus-menerus di Tepi Barat, termasuk Al-Quds Timur.

Serangan pada tanggal 7 Oktober ke Israel oleh Hamas dan kelompok perlawanan lainnya, yang menyebabkan 1.154 warga Israel, turis, dan pekerja migran tewas dan sekitar 240 orang disandera. Hal memberi Israel lampu hijau untuk melakukan apa yang telah lama mereka dambakan; “Penghapusan total warga Palestina”.

Israel telah menghancurkan 77% fasilitas kesehatan di Gaza, 68% infrastruktur telekomunikasi, hampir seluruh bangunan kota dan pusat pemerintahan, komersial, industri, dan pertanian, hampir separuh jalan raya, lebih dari 60% dari 439.000 rumah di Gaza, serta 68% bangunan tempat tinggal.

Israel mengebom menara Al-Taj di Kota Gaza pada 25 Oktober, menewaskan 101 orang, termasuk 44 anak-anak dan 37 wanita, serta melukai ratusan lainnya, dan menghancurkan kamp-kamp pengungsi. Serangan terhadap kamp pengungsi Jabalia pada 25 Oktober menewaskan sedikitnya 126 warga sipil, termasuk 69 anak-anak, dan melukai 280 orang.

Israel telah merusak atau menghancurkan universitas-universitas di Gaza, yang semuanya kini ditutup, dan 60% fasilitas pendidikan lainnya, termasuk 13 perpustakaan.

Mereka telah menghancurkan setidaknya 195 situs warisan sejarah, termasuk 208 masjid, gereja, dan Arsip Pusat Gaza yang menyimpan catatan dan dokumen sejarah selama 150 tahun.

Pesawat-pesawat tempur, rudal, drone, tank, peluru artileri, dan senjata angkatan laut Israel setiap hari membumihaguskan Gaza yang panjangnya hanya 20 mil dan lebarnya 5 mil, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak perang di Vietnam.

Israel telah menjatuhkan 25.000 ton bahan peledak di Gaza, setara dengan dua bom nuklir. Banyak dari sasaran dipilih oleh kecerdasan buatan (AI). Mereka menjatuhkan amunisi terarah dan bom “penghancur bunker” seberat 2.000 pon di kamp-kamp pengungsi dan pusat-pusat kota yang padat penduduk dan di wilayah “zona aman”. 42% warga Palestina terbunuh berada di “zona aman” ini, zona di mana mereka diperintahkan oleh Israel untuk menyelamatkan diri ke sana.

Lebih dari 1,7 juta warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka, terpaksa mencari perlindungan di tempat penampungan UNRWA di selatan Gaza yang penuh sesak, mereka tinggal di koridor dan halaman rumah sakit, sekolah, tenda atau ruang terbuka, dan seringkali tinggal di dekat genangan air limbah mentah yang berbau busuk.

Israel telah membunuh lebih dari 33.000 warga Palestina di Gaza, termasuk 13.000 anak-anak dan 9.000 wanita. Artinya, Israel membantai sebanyak 187 orang setiap harinya, termasuk 75 anak-anak.

Serangan brutal Israel telah menewaskan 136 jurnalis, sebagian besar dari mereka sengaja dijadikan sasaran. 340 dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya gugur atau 4% dari petugas kesehatan di Gaza.

Angka-angka ini tidak menunjukkan jumlah korban tewas sebenarnya karena data ini diambil sesuai dengan daftar di kamar mayat dan rumah sakit, yang sebagian besar sudah tidak berfungsi lagi.

Jika korban hilang juga ikut dihitung maka total yang tewas akan mencapai lebih dari 40.000 jiwa.

Dokter terpaksa mengamputasi anggota badan korban luka tanpa obat bius. Mereka yang menderita kondisi medis parah seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal telah meninggal akibat krisis obat-obatan, atau akan segera meninggal.

Lebih dari seratus perempuan melahirkan setiap hari, dengan sedikit atau tanpa perawatan medis. Keguguran meningkat 300%.

Lebih dari 90% warga Palestina di Gaza menderita kerawanan pangan parah, mereka terpaksa mengonsumsi pakan ternak dan bahkan rumput. Anak-anak sekarat karena kelaparan bahkan sampai meninggal dunia.

Penulis, akademisi, ilmuwan berikut anggota keluarga mereka telah dilacak dan dibunuh. Lebih dari 75.000 warga Palestina terluka, banyak di antaranya akan cacat seumur hidup.

“70% kematian yang tercatat selalu menyasar perempuan dan anak-anak,” tulis Francesca Albanese, Pelapor Khusus mengenai situasi hak asasi manusia di Wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967, dalam laporannya yang diterbitkan pada tanggal 25 Maret menyatakan: “Israel gagal membuktikan bahwa 30% laki-laki sisanya, adalah kombatan aktif Hamas, yang dapat dijadikan sasaran secara sah.”

Israel memainkan trik linguistik untuk menolak memberikan perlindungan baik kepada warga sipil atau bangunan apa pun termasuk masjid, rumah sakit, dan sekolah.

Warga Palestina dicap bertanggung jawab atas serangan 7 Oktober atau dianggap sebagai tameng manusia bagi Hamas. Semua bangunan dianggap sebagai target yang sah oleh Israel karena diduga merupakan pusat komando Hamas atau dikatakan sebagai tempat persembunyian pejuang Hamas.

Tuduhan-tuduhan ini, menurut Albanese, adalah sebuah “dalih” yang digunakan untuk membenarkan pembunuhan warga sipil dengan kedok legalitas, yang mana hal tersebut hanya membuktikan rencana genosida.

Semua tindakan ini, mulai dari pembunuhan warga sipil, perampasan tanah, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan manusia, pemblokiran kota dan desa bagi warga Palestina, penghancuran rumah, infrastruktur hingga pencurian sumber daya alam, telah lama memperlihatkan misi Israel untuk membasmi warga Palestina.

Pendudukan dan genosida tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan Amerika Serikat, yang memberikan bantuan militer tahunan kepada Israel sebesar 3,8 miliar Dolar dan kini mengirimkan tambahan bom senilai 2,5 miliar Dolar, termasuk 1.800 bom MK84 seberat 2.000 pon, 500 bom MK82 seberat 500 pon, dan jet tempur ke Israel.

Genosida di Gaza adalah puncak dari sebuah proses, akhir yang dapat diprediksi dari proyek kolonial pemukim Israel. Hal ini tersembunyi dalam DNA negara apartheid Israel. Di sinilah Israel harus berakhir.

Para pemimpin Zionis membongkar tujuan mereka

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, setelah 7 Oktober, mengumumkan bahwa Gaza tidak mendapatkan suplai listrik, makanan, air atau bahan bakar.

Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz mengatakan: “Bantuan kemanusiaan ke Gaza dihentikan. Saklar listrik tidak akan dinyalakan, hidran air tidak akan dibuka."

Avi Dichter, Menteri Pertanian Israel, menyebut bahwa serangan militer Israel sebagai “Nakba Gaza”, merujuk pada Nakba, atau “bencana, antara tahun 1947 dan 1949, yang mengusir 750.000 warga Palestina dari tanah mereka dan puluhan ribu orang dibantai oleh milisi Zionis.

Anggota partai Likud Israel, Revital Gottlieb menulis di akun media sosialnya: “Hancurkan gedung!! Jatuhkan bom tanpa membeda-bedakan!! Ratakan Gaza. Tanpa ampun! Kali ini, tidak ada ruang untuk belas kasihan!”

Menteri Warisan Sejarah Israel Amichai Eliyahu bahkan mendukung penggunaan senjata nuklir di Gaza sebagai “salah satu opsi”.

Pesan dari para pemimpin Israel sangat tegas: Musnahkan orang-orang Palestina dengan cara yang sama seperti kita memusnahkan penduduk asli Amerika, Australia memusnahkan bangsa First Nations, Jerman memusnahkan Herero di Namibia, dan Nazi memusnahkan orang-orang Yahudi.

“Tindakan spesifiknya berbeda, namun prosesnya sama”.

Kita tidak bisa bersikap pura-pura tidak tahu. Kita tahu apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi pada orang-orang Palestina!

Sayangnya, lebih mudah untuk berpura-pura. Berpura-pura Israel akan mengizinkan bantuan kemanusiaan. Berpura-pura akan ada gencatan senjata. Berpura-pura  bahwa warga Palestina akan kembali ke rumah mereka yang hancur di Gaza.

Berpura-pura Gaza akan dibangun kembali. Berpura-pura Otoritas Palestina akan mengelola Gaza. Berpura-pura akan ada solusi dua negara. Berpura-pura tidak ada genosida.

Genosida yang didanai dan didukung oleh AS dengan pengiriman senjata, tidak hanya membongkar siapa sesungguhnya Israel, tapi juga membongkar peradaban Barat, tentang siapa kita sebagai suatu bangsa, dari mana kita berasal, dan apa yang mendefinisikan kita.

Hal ini membuktikan bahwa semua moralitas yang dibanggakan Barat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah sebuah kemunafikan!

Kebohongan ini, bahwa peradaban Barat didasarkan pada “nilai-nilai” seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum) adalah kebohongan yang telah diketahui oleh orang-orang Palestina, semua orang di Dunia Selatan, serta penduduk asli Amerika dan orang Amerika berkulit hitam dan coklat selama berabad-abad. Siaran langsung genosida di Gaza menjadikan “bangkai” ini tidak lagi dapat ditutup.

Kita tidak ingin menghentikan genosida yang dilakukan Israel karena kita adalah Israel, yang terinfeksi supremasi kulit putih dan “dimabuk kepayang” oleh dominasi atas kekayaan global dan kekuatan untuk melenyapkan orang lain dengan senjata industri Barat.

Ingatlah ucapan kolumnis The New York Times, Thomas Friedman, yang memberi tahu Charlie Rose pada malam menjelang perang di Irak bahwa tentara Amerika harus pergi dari rumah ke rumah dari Basra ke Bagdad dan berkata kepada rakyat Irak dengan jumawa: “Mampus kalian!” Itulah agama sebenarnya dari kerajaan Amerika Serikat.

Mereka di luar benteng-benteng industri Barat sadar bahwa nasib rakyat Palestina adalah nasib mereka sendiri. Ketika perubahan iklim mengancam kelangsungan hidup, sumber daya menjadi langka, migrasi menjadi keharusan bagi jutaan orang, hasil pertanian menurun, wilayah pesisir terendam banjir, kekeringan dan kebakaran hutan meningkat, negara mengalami kegagalan, gerakan perlawanan bersenjata melawan penindas dan proksinya, genosida bukan lagi anomali, melainkan norma.

Kelompok rentan dan miskin, yang Frantz Fanon sebut sebagai “orang-orang yang celaka di muka bumi,” akan menjadi warga Palestina berikutnya.

(T.RS/S:TheChrisHedgesReport)

leave a reply
Posting terakhir

Likud Bermasalah, Biru - Putih Pecah

Menurut surat kabar tersebut, perbedaan ini tampaknya akan menjadi penyebab runtuhnya partai Biru – Putih. Partai tersebut semakin melemah setelah sejumlah sekutu utamanya seperti Yair Lapid dan Moshe Ya'alon mengumumkan pengunduran diri, begitu Gantz setuju untuk bergabung dalam koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Netanyahu.