Intifada Mahasiswa Amerika, “Soft Power” Baru Palestina

Ditulis oleh: Mohamed Sweidan*

BY 4adminEdited Thu,02 May 2024,04:03 PM
Mahasiswa terus melakukan protes dengan mendirikan perkemahan untuk menolak genosida Israel di Jalur Gaza di kampus Universitas Columbia. (foto: Reuters)

New York, SPNA - Pada tanggal 18 April, mahasiswa Universitas Columbia di New York melakukan aksi duduk di halaman kampus. Mereka memprotes hubungan keuangan Ivy League (asosiasi delapan universitas tua dan prestisius Amerika Serikat, serta memiliki pendapatan keuangan terbesar di dunia) dengan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pendudukan Israel di Palestina dan perang brutalnya di Jalur Gaza.

Aksi protes ini dengan cepat menyebar ke universitas-universitas terkemuka Amerika lainnya, termasuk New York University, Yale, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan University of North Carolina, seiring dengan meningkatnya tuntutan penghentian perang dan dukungan terhadap Israel.

Gelombang protes mahasiswa Amerika dan mahasiswa global yang semakin meningkat ini sangatlah penting: hal ini mewakili efek riak soft power dari Operasi Badai Al-Aqsha yang dilakukan kelompok perlawanan Palestina. Seperti halnya gerakan mahasiswa Amerika yang penuh sejarah dan massal melawan apartheid Afrika Selatan dan perang Vietnam, kemungkinan besar protes ini akan mulai menentang dukungan Amerika terhadap agresi Israel.

Selama beberapa dekade, Amerika Serikat telah menggambarkan Israel sebagai mercusuar demokrasi di kawasan yang didominasi oleh rezim otoriter dan sering kali menyebut Israel sebagai “satu-satunya negara demokrasi” di Asia Barat untuk membenarkan dukungan penuh tak tergoyahkan Amerika Serikat.

Namun, perubahan persepsi publik baru-baru ini, khususnya di kalangan pemuda Barat, kini semakin menggambarkan Israel sebagai negara “teroris” dan “penjajah”. Perubahan besar wacana, yang didorong oleh penyebaran informasi dan aksi protes global, akan berdampak signifikan terhadap entitas Zionis.

Reputasi global Israel telah ternoda ketika Afrika Selatan mengajukan tuduhan genosida terhadap negara tersebut di Mahkamah Internasional (ICJ) awal tahun ini, yang merupakan pertama kalinya Israel menghadapi tuduhan semacam itu pada tingkat internasional.

Pada bulan Maret, ICJ menuntut agar Israel mengambil tindakan segera dan efektif untuk memastikan masuknya pasokan makanan penting bagi penduduk Gaza, dengan menekankan kondisi kelaparan parah yang sudah terjadi dan memakan korban jiwa.

 

Pukulan bagi “Merek Israel”

“Soft power” didefinisikan oleh Joseph Nye sebagai “kemampuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui ketertarikan, bukan melalui paksaan atau tekanan”.

Peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations (lembaga riset yang mengkhususkan diri dalam kebijakan luar negeri Amerika dan hubungan internasional), Joshua Kurlantzick, berpendapat bahwa “soft power bisa lebih efektif daripada hard power dalam mencapai hasil politik, karena soft power mempengaruhi preferensi pihak lain dibandingkan memaksa mereka untuk berubah melalui paksaan”.

Bentuk pengaruh ini muncul melalui budaya, nilai-nilai, dan kebijakan yang menarik secara universal dan sah secara moral – sehingga lebih sulit untuk dibendung.

Puluhan tahun Israel melakukan inisiatif “nation branding” atau soft power di Barat yang bertujuan untuk memperkuat gagasan Israel sebagai “satu-satunya negara demokrasi” di Asia Barat yang menganut “nilai-nilai Yahudi-Kristen” yang sama dengan negara barat. Ini tujuan akhirnya untuk membenarkan dukungan tanpa syarat dari Washington bagi Tel Aviv.

Namun, dibutuhkan unjuk kekuatan Palestina untuk membuka cengkraman narasi di Barat. Dalam beberapa minggu setelah Operasi Badai Al-Aqsha, masyarakat barat untuk pertama kalinya mulai melihat wajah sebenarnya dari Zionisme yang dilancarkan dalam serangan militer besar-besaran terhadap rumah sakit, universitas, infrastruktur, dan penduduk sipil di Gaza.

Seandainya Tel Aviv tidak bereaksi dengan “kekuatan keras”, sentimen Barat mungkin akan tetap kuat pada Israel. Sebaliknya, saat ini, masyarakat Barat telah berinteraksi secara mendalam dengan pemandangan mengerikan ini dan dengan penduduk Palestina yang berada di Jalur Gaza, sehingga menggalang dukungan “soft power” untuk perjuangan Palestina di seluruh dunia.

Perang di Asia Barat tidak akan mampu mencapai apa yang telah dicapai di Jalur Gaza. Tidak hanya solusi dua negara dan perjuangan Palestina kembali menjadi agenda utama internasional, akan tetapi kelayakan proyek kolonial Israel juga sedang dibahas secara luas.

Pengakuan Palestina Sebagai Sebuah Negara

Dalam ranah soft power, kelompok perlawanan Palestina menempatkan Palestina kembali dalam peta. Saat ini, Spanyol, Irlandia, Malta, Slovenia, dan Norwegia telah menunjukkan kesediaan untuk mengakui negara Palestina, sebuah perubahan penting yang dipengaruhi oleh krisis kemanusiaan di Jalur Gaza dan kegagalan strategis militer Israel yang pernah dibanggakan.

Perkembangan diplomasi ini tidak akan terjadi tanpa adanya Operasi Badai Al-Aqsha yang memicu peristiwa-peristiwa berikutnya.

Mengutip dua pejabat Amerika Serikat, surat kabar Axios melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, telah meminta Departemen Luar Negeri untuk “melakukan peninjauan dan menyajikan opsi kebijakan mengenai kemungkinan pengakuan AS dan internasional atas negara Palestina” setelah perang di Jalur Gaza.

Meskipun diperkirakan tidak ada perubahan signifikan dalam waktu dekat, Axios tersebut mencatat bahwa hal ini menandakan kemungkinan perubahan dalam kebijakan luar negeri AS.

Bahkan Inggris, yang bertanggung jawab untuk menetapkan mandat yang mengarah pada pembentukan Israel, telah menyatakan kesiapannya untuk mengakui negara Palestina segera setelah gencatan senjata di Jalur Gaza tanpa menunggu selesainya perundingan damai yang berkepanjangan.

Dampak perang Gaza semakin terlihat dari perbedaan hasil pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB: dari rancangan resolusi pada tahun 2014 yang hanya mendapat sedikit dukungan hingga mayoritas kuat yang mendukung keanggotaan penuh Palestina pada bulan April 2024, dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara yang memberikan suara berbeda.

Kekuatan Protes Mahasiswa untuk Palestina

Hanya dalam waktu seminggu, ribuan mahasiswa berkumpul dalam protes di seluruh Amerika Serikat yang menuntut penghentian genosida di Jalur Gaza; penghentian bantuan militer AS untuk Israel; divestasi dana universitas dari negara, perusahaan, dan universitas Israel; dan menjunjung tinggi hak mahasiswa Amerika untuk melakukan protes di kampus tanpa menghadapi dampak apa pun.

Selama aksi demonstrasi ini, lebih dari 1.500 orang telah ditangkap di setidaknya 15 kampus perguruan tinggi di seluruh negeri, dan banyak aktivis mahasiswa yang menjadi sasaran kekerasan oleh pasukan keamanan negara.

Salah satu aspek penting dari demonstrasi ini adalah kehadiran bendera yang dikaitkan dengan kelompok gerakan perlawanan seperti Hizbullah Lebanon, yang telah lama dibenci oleh pemerintah AS. Pergeseran ini mencerminkan bagaimana gerakan perlawanan Asia Barat yang dulunya difitnah telah mendapatkan daya tarik moral di kalangan mahasiswa Amerika, sehingga mempengaruhi pola pikir para pemimpin masa depan Amerika.

Di sisi lain, ketika Tel Aviv tidak mendapatkan poin apa pun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menggambarkan protes di universitas tersebut sebagai sesuatu yang “mengerikan” dan menyebut para aktivis mahasiswa, di mana bahkan banyak dari mereka adalah orang-orang Yahudi, sebagai “antisemit”.

Tel Aviv memandang protes kampus sebagai ancaman eksistensial jangka panjang bagi Israel, karena khawatir dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para influencer muda ini terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Akibat aksi protes mahasiswa yang tidak berhenti hingga saat ini, dua perwakilan Negara Bagian New York, yang didukung oleh kedua partai besar dan secara khusus didanai oleh organisasi Zionis, AIPAC, dengan dana sekitar 1,329,480 dolar selama siklus pemilu 2022–2024, telah memperkenalkan rancangan undang-undang yang bertujuan untuk secara ketat “memantau antisemitisme” di kampus, sebuah langkah dianggap dipengaruhi oleh lobi Israel.

Hard Power

Seruan untuk mendukung perjuangan Palestina telah bergema di luar kampus-kampus di Amerika Serikat. Aksi demonstrasi besar-besaran kini terjadi di Jerman, Perancis, Italia, Inggris, dan Irlandia, termasuk di Jepang dan Korea Selatan yang juga menyerukan penghentian perang genosida di Gaza.

Hal ini mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam jajak pendapat AS sejak perang Gaza dimulai, yang menunjukkan semakin besarnya ketidaksetujuan terhadap perang di kalangan pemuda Barat, yang mencakup sekitar 20,66 persen populasi AS.

Perang Gaza dan peristiwa-peristiwa regional telah sangat mempengaruhi persepsi mengenai kerentanan Israel. Insiden-insiden seperti operasi perlawanan Palestina tanggal 7 Oktober dan serangan balasan Iran pada tanggal 13 April telah mengungkap ketergantungan mutlak Israel pada pemerintah negara-negara Barat, baik untuk mendapatkan persenjataan atau perlindungan politik, yang kini beralih menggunakan kekuatan untuk meredam kritik.

Oleh karena itu, setiap diskusi mengenai berkurangnya soft power Israel dan gerakan protes global yang dipimpin oleh para pemuda ini, harus mengakui dan menghargai hard power yang ditunjukkan oleh Poros Perlawanan Palestina dalam memajukan pembebasan nasional Palestina.

Kemampuan untuk mempengaruhi “melalui ketertarikan” atau soft power memerlukan legitimasi moral, yang telah hilang dari Israel dengan membunuh lebih dari 34.000 penduduk sipil di Jalur Gaza, di mana 72 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Seiring berjalannya waktu dan berlanjutnya genosida yang dilakukan Israel, proyeksi soft power Palestina semakin kuat, sehingga menambah tekanan global terhadap penggunaan hard power yang tidak proporsional oleh Israel.

__________________

*Peneliti studi strategis yang menulis di berbagai platform media dan sejumlah studi di bidang hubungan internasional, terutama yang bersinggungan dengan politik Rusia, Turki, dan hubungan antara keamanan energi dan geopolitik.

(T.FJ/S: The Cradle)

leave a reply
Posting terakhir
Protes genosida Israel terhadap penduduk Palestina di Jalur Gaza di Universitas Columbia.

Demo Besar-Besaran Mahasiswa Dukung Palestina Guncang Amerika

Amerika Serikat telah memberikan dukungan militer dan intelijen maksimal kepada rezim tersebut sejak 7 Oktober, ketika rezim tersebut melancarkan perang. Washington juga telah memveto beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata dalam serangan brutal militer yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 34.100 penduduk sipil Palestina, di mana sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.