Blokade Gaza, Antara Dalih Keamanan dan Dukungan Washington

Selama satu setengah dekade, otoritas pendudukan Israel telah mengajukan klaim keamanan yang lemah untuk terus melanjutkan aksi blokade Gaza. Ini dilakukan dengan dukungan mutlak persenjataan dan politik oleh Amerika Serikat, termasuk masyarakat internasional dan regional yang terlibat. Blokade ini terus dilakukan meskipun adanya kritik yang dilakukan lembaga kemanusiaan dan lembaga hak asasi manusia.

BY 4adminEdited Tue,13 Sep 2022,02:27 PM

Gaza, SPNA - Tahun demi tahun, blokade Gaza telah menyengsarakan lebih dari dua juta orang dalam penderitaan kemiskinan, pengangguran, dan sejumlah krisis mulai dari krisis listrik dan penutupan pintu penyeberangan, dan hal lainnya yang terus membuat penduduk Palestina mengalami penderitaan.

Selama satu setengah dekade, otoritas pendudukan Israel telah mengajukan klaim keamanan yang lemah untuk terus melanjutkan aksi blokade Gaza. Ini dilakukan dengan dukungan mutlak persenjataan dan politik oleh Amerika Serikat, termasuk masyarakat internasional dan regional yang terlibat. Blokade ini terus dilakukan meskipun adanya kritik yang dilakukan lembaga kemanusiaan dan lembaga hak asasi manusia.

Berdasarkan laporan pengamat, penggambaran Gaza yang dipimpin oleh Gerakan Perlawanan Islam Palestina, Hamas, yang diangggap sebagai “gerakan teroris” dan tidak mengakui legitimasi “Israel”, serta penolakan Hamas terhadap realitas perjanjian politik yang tidak adil, adalah alasan paling utama bagi Israel untuk terus melanjutkan blokade.

Lambaga Hak Asasi Manusia, Euro-Mediterania, menggambarkan dalih keamanan untuk terus melakukan blokade yang telah diberlakukan di Gaza sejak 15 tahun yang lalu adalah “tindakan kontradiksi dan konyol”, sementara memperoleh izin kerja di dalam negara Israel (Palestina yang diduduki tahun 1948), relatif lebih mudah daripada memperoleh izin belajar atau bekerja di wilayah Tepi Barat.

Pemimpin Program dan Komunikasi Euro-Mediterranean Monitor, Mohammad Shehadeh, menekankan bahwa aspek terburuk dari kehidupan di Jalur Gaza adalah “perjalanan waktu yang sulit dan lambat”, akibat blokade tanpa akhir.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan laporan beberapa pekan lalu yang menyatakan bahwa 1,3 juta penduduk Palestina dari total 2,1 juta jiwa penduduk di Jalur Gaza membutuhkan bantuan makanan. PBB menyebutkan bahwa angka pengangguran di Gaza adalah tertinggi di dunia dengan 46,6 persen, di mana pengangguran di kalangan pemuda (15- 29 tahun) mencapai 62,5 persen pada triwulan pertama tahun 2022 M.

 

Penderitaan Meningkat

Jalur Gaza telah menjadi seperti “Bantustans” dari Afrika Selatan, yang saat itu sedang mengalami diskriminasi rasial dan apartheid yang dilakukan kekuatan pemerintahan pendudukan terakhir di era modern.

Bantustan atau juga dikenal sebagai tanah air Bantu, atau tanah air kulit hitam merupakan wilayah yang disisihkan oleh pemerintahan administrasi Partai Nasional Afrika Selatan bagi penduduk kulit hitam Afrika Selatan dan Afrika Barat Daya (sekarang Namibia), sebagai bagian dari kebijakan apartheid.

Blokade atau pengepungan yang dilakukan otoritas pendudukan Israel terhadap Palestina secara umum diwujudkan dalam tiga jenis di wilayah pendudukan Israel sejak tahun 1967, mulai dari blokade internal, eksternal, dan blokade perbatasan internasional.

Pengepungan internal bertujuan untuk membatasi pergerakan penduduk Palestina di Tepi Barat melalui berbagai pos pemeriksaan militer, sedangkan pengepungan eksternal dilakukan di perbatasan Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan “Israel”.

Pakar hukum dari Jalur Gaza, Salah Abdel Ati, percaya bahwa pembenaran keamanan otoritas pendudukan Israel dan dalih untuk melanjutkan blokade Gaza adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan hukuman kolektif yang merupakan kejahatan perang.

“Dampak blokade adalah bencana besar, dan termasuk kejahatan agresi terhadap penduduk sipil. Kerugian akibat blokade melebihi 15 miliar dolar Amerika Serikat. Selama masa blokade tersebut, Gaza telah menghadapi lima kali agresi dan 60 aksi militer yang merenggut nyawa puluhan ribu jiwa, melukai, dan menghancurkan puluhan ribu unit rumah,” sebut Salah Abdel Ati.

Luas Jalur Gaza tidak melebihi 365 kilometer persegi, setelah otoritas pendudukan Israel mengurangi luas sebenarnya Jalur Gaza, melalui perjanjian gencatan senjata tahun 1949. Sebelumnya Jalur Gaza memiliki luas lebih dari 550 kilometer persegi.

Peneliti urusan Israel, Naji Al-Batta, mengatakan bahwa Israel adalah negara yang berada di atas hukum yang mendapat dukungan penuh Amerika Serikat di semua lembaga internasional, terutama PBB dan Dewan Keamanan.

“Israel mempraktikkan pepatah Mossad bahwa mereka dapat melakukan apa pun yang diinginkan dan kapan pun mereka mau, dan bagaimana caranya. Semua dalih keamanan untuk terus melanjutkan aksi blokade (Jalur Gaza) tidak berguna,” kata Naji Al-Batta.

Israel membatasi pergerakan penduduk Palestina antara Jalur Gaza dan dunia luar, mencegah masuknya peralatan teknis sederhana dan puluhan jenis barang-barang dagangan, dan mengontrol pintu penyeberangan dalam rangka memperketat blokade dan pembatasan di sektor ekonomi.

 

Dalih Blokade

Israel mempersenjatai diri dengan alasan keamanan. Dalin dan alasan keamanan ini selalu disebut tokoh diplomat dan tokoh politik Israel di dunia internasional ketika ditanyakan alasan blokade Gaza. Sementara itu, kondisi penduduk Palestina dari tahun ke tahun semakin memburuk.

Hal yang diinginkan otoritas pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza adalah bahwa penduduk Palestina, seperti yang pernah diucapkan mantan Wakil Perdana Menteri Israel, Avigdor Lieberman sebelumnya, “harus tetap berada di atas air. Jalur Gaza tidak boleh mati, juga tidak boleh dihuni dengan kehidupan yang layak seperti kota-kota lain di dunia.

Pakar hukum dari Jalur Gaza, Salah Abdel Ati, menegaskan, ada sejumlah faktor berlanjutnya blokade di Jalur Gaza, mulai dari perspektif dan visi politik Israel dan sekutunya, hingga lemahnya sikap Arab dan otoritas Palestina dalam mengahadapi Israel.

“Faktor terpenting adalah dukungan maupun veto Amerika, kemitraan politik, dan hubungan militer Amerika-Israel, banyaknya rezim Arab yang melakukan normalisasi, perpecahan, dan kelemahan pemimpin negara-negara Arab, serta diamnya internasional tanpa meminta pertanggungjawaban Israel,” kata Salah Abdel Ati.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas memungkinkan blokade Gaza terus meningkat dan meluas tanpa akhir. Dukungan dan diamnya panggung politik memungkinkan otoritas pendudukan Israel untuk terus melakukan lebih banyak pelanggaran dan kejahatan, sehingga orang-orang Palestina yang menjadi korban blokade, sakit dan mati perlahan-lahan di Jalur Gaza.

Peneliti urusan Israel, Naji Al-Batta, percaya bahwa kampanye otoritas pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza sebagai “wilayah terorisme” terbukti dalam semua wacana politik dan hukum. Oleh karena itu, kampanye wilayah terorisme Jalur Gaza di hadapan masyarakat internasional memberikan pembenaran bagi Israel untuk terus melanjutkan blokade meskipun melanggar hukum internasional dan hukum humaniter internasional.

Naji Al-Batta menyebutkan bahwa dalih keamanan palsu di balik terus berlanjutnya aksi blokade bertujuan untuk mencoba menjaga Jalur Gaza tetap terisolasi dari sisa kawasan Palestina lainnya yang diduduki dan terperosok dalam krisis dan masalah.

Israel memiliki sejarah panjang dalam mengisolasi Jalur Gaza dan memberlakukan banyak penutupan selama dua dekade terakhir. Namun, blokade yang diberlakukan setelah kemenangan gerakan Hamas dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina 2006 adalah bentuk hukuman kolektif yang belum pernah terjadi sebelumnya. Israel menyatakan Jalur Gaza sebagai daerah tertutup dan memberlakukan hukuman pada pemerintah yang dipimpin Hamas, termasuk pembatasan impor bahan bakar, barang-barang lainnya, dan pergerakan orang masuk dan keluar dari Gaza.

Blokade semakin diperketat pada tahun 2007, ketika semua jenis bahan bakar, termasuk bensin dan solar, dibatasi, bersama dengan barang-barang seperti daging dan biskuit. Selain itu, zona penangkapan ikan dibatasi, dan semua penyeberangan perbatasan ditutup.

Selama bertahun-tahun, Israel bekerja untuk memperluas dan memperdalam isolasi Jalur Gaza. Salah satu pembatasan paling kejam dalam dampaknya adalah pemisahan Jalur Gaza dari Tepi Barat. Kebijakan pemisahan ini membatasi masuk dan keluar penduduk dari Jalur Gaza, yang mencegah mahasiswa dan pihak profesional untuk melanjutkan pendidikan mereka di luar Jalur Gaza. Kebijakan tersebut juga berdampak besar pada pasien yang menerima perawatan kesehatan, pengusaha, dan keluarga Palestina yang sebagian keluarganya hidup di Tepi Barat.

Israel juga melakukan serangan militer berulang-ulang yang menyebabkan krisis ekonomi, kehancuran ekonomi, hancurnya sebagian besar infrastruktur dan fasilitas ekonomi, serta jatuhnya korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.

(T.FJ/S: Palinfo, Euro-Med)

leave a reply
Posting terakhir

Israel Kuasai 36 Wilayah di Tepi Barat dengan Dalih Cagar Alam

Musa mengungkapkan bahwa 11.000 hektar tanah yang diumumkan pendudukan baru-baru ini sebagai cagar alam di daerah Jericho, Al-Jiftlik Selatan, Deir Hajla dan wilayah timur Tayaseer di daerah Tubas, sebenarnya adalah lahan pertanian yang subur milik rakyat Palestina.