Yerusalam, SPNA - Pembagian kompleks Al-Aqsha dan upaya Yahudisasi telah dan sedang berlangsung dengan resiko yang telah menjadi nyata.
Pembagian dan Yahudisasi Al-Aqsha bukan hanya masalah rencana. Namun, telah menjadi realitas berbahaya yang mengancam identitas kompleks Masjid Al-Aqsha, dan menyasar sejarah Al-Aqsha, baik pada periode sekarang dan mendatang.
Rencana yang telah kita dengar selama beberapa dekade silam, yang membuat banyak penduduk Palestina (terutama di Yerusalem), dan aktivis pro-Palestina menyerukan dengan lantang selama bertahun-tahun bahwa Al-Aqsha dalam bahaya Yahudisasi, saat ini telah menjadi kenyataan. Upaya Yahudisasi yang semakin dipaksakan. Hari demi hari, langkah demi langkah, dan pelanggaran demi pelanggaran, di tengah sikap diam dan hening dari dunia. Upaya Yahudisasi ini hanya dilawan dengan suara takbir jamaah laki-laki dan perempuan di kompleks suci Al-Aqsha dan pejuang perlawanan Palestina yang mendukung dengan segala kemampuan dan kekuatan mereka.
Pemerintah otoritas pendudukan Zionis dan kelompok pemukim Israel ekstrimis, sejak awal pendudukan tanah Palestina, telah bercita-cita untuk membagi kompleks Masjid Al-Aqsha secara ruang dan waktu bagi Yahudi, terlebih setelah adanya pembagian Masjid Ibrahimi di kota Hebron bagi Yahudi.
Otoritas pendudukan Israel telah mengubah isu pembagian Al-Aqsha menjadi fakta yang diterapkan secara paksa dan secara bertahap. Hal ini dimulai dengan serbuan pemukim Israel ke kompleks Masjid Al-Aqsha yang awalnya jarang dilakukan dan cuma dilakukan pada hari tertentu, sekarang mulai berlangsung setiap hari kecuali pada hari Jumat dan Sabtu, bahkan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.
Tindakan pelecehan terhadap Al-Aqsha ini pelan-pelan berkembang, di mana pemukim Israel pada saat ini sudah mulai melukan ritual ibadah Talmud baik secara individu atau secara kelompok di kompleks Masjid Al-Aqsha.
Kelompok Kuil Yahudi tidak puas dengan hanya melakukan itu, sampai hari ini mereka menyerukan untuk memperpanjang jam serbuan ke kompleks Al-Aqsha, mengizinkan orang-orang Yahudi untuk masuk dari semua gerbang Al-Aqsha, melakukan doa dan ritual Taurat di kompleks Al-Aqsa, membuka pintu bagi orang-orang Yahudi yang menyerbu pada hari Jumat dan Sabtu, menentukan lokasi sinagoge di dalam Al-Aqsha, mengakhiri pengawalan polisi bagi kelompok Yahudi, dan tidak menutup Al-Aqsha bagi orang-orang Yahudi pada hari-hari dan perayaan Islam apa pun.
Rencana Lama dan Kebijakan Politik Israel
Anggota Komite Pertahanan Tanah Yerusalem, Saleh Al-Shweiki, membenarkan bahwa komunitas pemukim ekstremis Yahudi yang merangsek masuk ke Masjid Al-Aqsha dan melecehkan kesucian Al-Aqsha sesuai dengan program politik yang direncanakan pemerintahan fasis Israel.
Al-Shweiki mengindikasikan bahwa otoritas pendudukan Israel terus berupaya meyahudisasi Masjid Al-Aqsha, terutama setelah adanya rapat pemerintahan Israel di dekat Al-Aqsha, sebagai bukti bahwa kebijakan yahudisasi semakin gencar dilakukan di Al-Aqsha.
Aktivis politik Palestina, Muhammad Hamdan, percaya bahwa otoritas pendudukan Israel memiliki rencana di Yerusalem sejak tahun 1967, yaitu yahudisasi Al-Aqsha dan mengubahnya menjadi sinagoge.
Hamdan menyatakan bahwa pemukim Israel percaya bahwa Masjid Qubbat As-Sakhrah adalah lokasi kuil Yahudi. Mereka menuntut alokasi tempat untuk melakukan doa Talmud, tetapi sekarang mereka menginginkan Masjid Qubbat As-Sakhrah, yang dibangun oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Hamdan menunjukkan bahwa otoritas pendudukan Israel gagal melaksanakan rencana yahudisasi pada masa lalu. Namun, pada saat ini rencana tersebut semakin digencarkan dan diperkuat.
Hamdan menjelaskan bahwa otoritas pendudukan Israel memiliki bacaan atau bayangan politik yang memberitahukan bahwa realitas Arab cocok bagi pelaksanaan implementasi proyek yahudisasi Al-Aqsha. Hamdan menyebut bahwa tidak yang dapat menghalangi upaya yahudisasi kecuali melalui gerakan perlawanan.
Perang Sistematis dan Berpacu dengan Waktu
Direktur Lembaga Wakaf Al-Aqsha, Syeikh Najeh Bakirat, mengatakan bahwa otoritas pendudukan Israel sedang mengobarkan perang sistematis yang melawan Yerusalem yang diduduki. Rezim Zionis Israel ingin memaksakan pembagian ruang dan waktu bagi orang-orang Yahudi di kompleks suci Al-Aqsha.
Syeikh Najeh Bakirat menjelaskan bahwa otoritas pendudukan Israel bertujuan untuk meyahudisasi Yerusalem sepenuhnya dan berusaha untuk mengubah identitas visual kota Yerusalem melalui permukiman ilegal dan penghancuran bangunan Palestina. Realitas lapangan menunjukkan adanya perjuangan mengubah peta demografis di Yerusalem.
Syeikh Najeh Bakirat percaya bahwa rapat pejabat dan politisi otoritas pendudukan Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsha merupakan pukulan menyakitkan bagi dunia Arab dan Islam. Ia menegaskan bahwa ziarah dan kehadiran penduduk Palestina di dalam kompleks Al-Aqsha merupakan hambatan bagi penjajah Zionis untuk mencapai tujuannya.
Murabithah (penjaga Al-Aqsha), Hanady Halawani, yang berasal dari Yerusalem mengatakan bahwa otoritas pendudukan Israel telah mencoba selama beberapa tahun terakhir untuk menerapkan kebijakan pembagian ruang dan waktu Masjid Al-Aqsha bagi orang-orang Yahudi, akan tetapi gagal. Meskipun begitu rencana untuk meyahudisasi Al-Aqsha semakin diperkuat.
Hanady Halawani menunjukkan bahwa otoritas pendudukan Israel melakukan upaya tanpa henti untuk menerapkan kebijakan pembagian ruang dan waktu di Al-Aqsha, di mana tujuannya untuk mendirikan Kuil Yahudi di kompleks Al-Aqsha. Upaya-upaya yahudisasi ini mulai dilakukan dengan cara mengeksploitasi hari-hari besar ataupun agama dan nasional.
Ribath dan Gerakan di Media Sosial
Menghadapi upaya yahudisasi ini, Palestina terus menyerukan pentingnya terus melakukan ribath (berada di masjid dan tidak keluar selangkah pun dari masjid) dan memobilisasi jamaah ke Al-Aqsha, untuk menghadapi rencana otoritas pendudukan Israel, dan untuk mencegah Zionis memonopoli Al-Aqsha sepenuhnya.
Seruan tersebut mendapat respon luar biasa dari penduduk Palestina, baik yang tinggal di Yerusalem, Tepi Barat, dan bahkan di daerah Palestina yang diduduki 1948 (Israel saat ini), untuk menghadapi tindakan sewenang-wenang tiada henti Zionis Israel.
Selama bulan April, sebanyak 5.054 pemukim ekstremis Yahudi menyerbu masuk dan melakukan ritual Talmud di kompleks Masjid Al-Aqsha.
Otoritas pendudukan mengeluarkan sebanyak 515 surat keputusan deportasi penduduk, termasuk 75 keputusan deportasi dari kompleks Masjid Al-Aqsha.
Dalam rangka menghadapi rencana otoritas pendudukan Israel, khususnya rencana pembagian Masjid Al-Aqsha bagi orang-orang Yahudi, aktivis Palestina menyerukan tagar anti pembagian Al-Aqsha dan mengintensifkan ribath dan kehadiran di Al-Aqsha. Aktivis Palestina mengajak orang-orang Palestina untuk memainkan peran penting dalam melindungi Al-Aqsha dan menekankan pentingnya mobilisasi massal untuk menghadapi serbuan Zionis dan upaya yahudisasi.
Seruan tersebut mendapat interaksi luas dari pengguna media sosial, di mana tagar “Lan Yuqassam”, yang berarti Al-Aqsha tidak akan dibagi, menjadi trending topik paling banyak di-tweet selama beberapa jam, khususnya di Twitter dan Facebook.
Aktivis Palestina di media sosial menyatakan melalui akun media sosial mereka bahwa pelanggaran Zionis tidak akan berhasil mengubah identitas Masjid Al-Aqsha yang diberkahi, menekankan pentingnya tautan di masjid dan pertahanannya.
Hanady Halawani mencatat bahwa larangan bagi penduduk Palestina untuk memasuki Al-Aqsha, khususnya bagi para pemuda, termasuk pengusiran maupun deportasi berulang kali jamaah Palestina dari Al-Aqsha dan dari kota Yerusalem, untuk melanggengkan kunjungan orang-orang Yahudi, merupakan bentuk tahapan yahudisasi yang semakin hari kian parah.
Hanady Halawani juga menekankan hal yang sama bahwa para murabitun dan murabitah (penjaga Al-Aqsha), akan terus menjadi batu sandungan bagi rencana yahudisasi Al-Aqsha, dengan ribath dan kehadiran rutin jamaah muslim Palestina di kompleks dan gerbang Al-Aqsha.
(T.FJ/S: Palinfo)